Eksplorasi transformasi kerentanan sosial
1) Latar Belakang Penelitian
Ekosistem gambut tropis di Asia Tenggara seluas 250.000 km2 menyimpan total karbon dan air dalam jumlah besar. Pada masa lampau, sebagian besar ekosistem gambut masih dikenal sebagai hutan rawa gambut. Karena karakter fisik ekosistem gambut tersebut, masyarakat banyak yang bermukim tepat di sekitar lahan gambut dan memanfaatkan sumber daya di dalamnya dengan bijaksana. Kondisi demikian membuat hutan rawa gambut dulu belum tersentuh oleh aktivitas budidaya yang masif. Selama dua dekade terakhir hutan rawa gambut dieksploitasi untuk keperluan budidaya akasia dan kelapa sawit. Seperti yang telah diketahui, bahwa kedua jenis tanaman tersebut tidak dapat tumbuh pada ekosistem rawa gambut. Oleh karena itu, pengeringan gambut besar-besaran dilakukan, inilah yang memicu degradasi dan kerusakan ekosistem gambut yang parah.
Ekosistem gambut tropis yang telah terdegradasi memunculkan banyak dampak buruk terhadap kondisi emisi karbon global, ekosistem lokal, kesehatan dan kehidupan masyarakat. Gambut yang kering biasanya tersusun atas sebagian vegetasi yang membusuk atau bahan organik, menghasikan emisi total karbondioksida yang tinggi ke udara. Jumlah karbondioksida meningkat tajam ketika gambut kering terbakar. Api mengancam hutan-hutan primer, lahan, dan harta benda masyarakat. Asap hasil dari pembakaran mengandung PM 2.5 (partikel udara yang berukuran lebih kecil 2.5 mikrometer), nitrogen oksida (NO), nitrogen dioksida NO2) dan bahan kimia lainnya yang dapat menyebabkan ganguan kesehatan serius yang terjadi lintas batas negara.
Di Indonesia kejadian kebakaran lahan gambut yang parah terjadi pada bulan Juli-November tahun 2015, kebakaran hutan melanda seluas 21.000 km2. Selama periode tersebut, total emisi karbondioksida dari kebakaran lahan gambut melampaui emisi bahan bakar fosil yang dihasilkan oleh Jepang sepanjang tahun 2013. Setengah juta penduduk menderita infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), ribuan penduduk khususnya anak-anak menderita penyakit asma. Kabut asap juga mempengaruhi aktivitas masyarakat di negara tetangga, Singapura dan Malaysia. Terkait situasi ini, pemerintah Indonesia mengimplementasikan sejumlah paket kebijakan untuk mencegah praktik eksploitasi dan pembukaan lahan dengan cara membakar. Langkah pemerintah Indonesia dalam penanganan kebakaran hutan patut diapresiasi, namun tentu saja dibutuhkan proses pengumpulan dasar kajian ilmiah dari kondisi mayarakat di sekitar ekosistem gambut serta mengkaji dampak dari kejadian kebakaran dan bencana kabut asap. Hal ini perlu dilakukan untuk mengetahui hubungan sebab akibat antara berbagai faktor sekaligus mengenalkan upaya-upaya efektif bagi mitigasi ekosistem gambut yang telah terdegradasi.
2) Tujuan
Riset aksi kondisi masyarakat gambut tropis pertama kali diinisiasi oleh beberapa peneliti di Pusat Studi Asia Tenggara, Universitas Kyoto. Para peneliti mengenalkan tata cara pembasahan kembali dan penanaman kembali pada ekosistem gambut di Kabupaten Bengkalis, Riau sejak tahun 2010. Lokasi penelitian mendapat perhatian dari berbagai pihak, terutama saat kejadian kebakaran dan bencana kabut asap pada tahun 2015. Selanjutnya, kegiatan penelitian ini menjadi program penelitian 5 (lima) tahun dari Research Institute of Humanity and Nature (RIHN) pada bulan April 2017 bekerjasama dengan Universitas Kyoto dan Badan Restorasi Gambut, Republik Indonesia, Universitas Riau, dan beberapa lembaga atau institusi di Indonesia dan Jepang. Tujuan penelitian ini untuk mengklarifikasi keseluruhan proses dari degradasi ekosistem gambut dan memberikan saran bagi upaya restorasi gambut yang efektif.
Proyek riset aksi ini terdiri dilakukan dengan pendekatan berbagai disiplin ilmu: Anggota tim peneliti pun berasal dari berbagai macam disiplin ilmu yang berbeda. Penelitian kami berfokus pada:
- a)
Mengumpulkan data sosial dan ekologi dari ekosistem gambut dan mencoba mengukur dampak dari kebakaran dan kabut asap.
- b)
Menerapkan sistem Paludikultur (salah satu sistem budidaya di ekosistem gambut) sebagai salah satu alternatif mata pencaharian dalam rangka mitigasi ekosistem gambut yang telah terdegradasi.
- c)
Mengidentifikasi struktur pemerintahan dan insentif, termasuk memperkuat hak-hak kepemilikan lahan oleh masyarakat secara legal, yang tentu akan mendukung pengelolaan ekosistem gambut berkelanjutan.
Kemudian tujuan dari penelitian kami adalah menguji berbagai macam bentuk alternatif strategi mata pencaharian yang dapat mendorong masyarakat terlibat aktif dalam pengelolaan ekosistem gambut yang berkelanjutan. Secara umum, riset kami adalah bentuk dari riset aksi yang dilakukan secara komprehensif dengan melibatkan berbagai disiplin ilmu. Peneliti membangun hubungan dan komunikasi yang kuat dengan warga lokal, pendatang, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), pemegang izin penggunaan lahan, dan institusi lokal serta nasional dalam merumuskan solusi bagi krisis degradasi ekosistem gambut.
3) Kontribusi Nyata
Ekosistem gambut adalah tipe ekosistem yang rentan mengalami kerusakan akibat berbagai aktivitas manusia yang tidak ramah gambut. Demikian juga dengan kondisi sosial masyarakat yang tinggal dan menetap di sekitar ekosistem gambut. Selama ini masyarakat yang tinggal di sekitar eksositem gambut dikesampingkan secara geografis dan secara politik termarjinalkan. Kami menginvestigasi kedua aspek penting yaitu sosial dan ekologi, selain itu juga mengusulkan beberapa program untuk mentransformasi berbagai macam kerentanan tersebut menjadi sebuah peluang yang mampu membawa kesejahteraan bagi masyarakat lokal. Dengan kata lain, tujuan utama riset aksi yang kami lakukan adalah untuk mengeksplorasi berbagai macam kerentanan sosial yang terjadi dan berkontribusi bagi isu lingkungan global dengan cara menampilkan suatu model transformasi sosial yang dilakukan di tengah masyarakat gambut.